Senin, 03 Juni 2013

Kafe dan Bar

Apalagi, di kedai itu para pengunjung disediakan sofa empuk bersarung batik untuk duduk menikmati jamu. Di ruangan berpendingin udara itu, juga tersedia koneksi Internet gratis lewat fasilitas Wi-Fi. "Kafe ini dibuat untuk menjadi tempat minum jamu yang nyaman dan bisa menarik anak muda," kata Ayu Safitri, staf kedai itu, yang ditemui Tempo, 22 Mei lalu.


Buka sejak pukul 10.00 hingga 23.00 WIB, kedai itu tak hanya menawarkan jamu. Di sana juga tersedia minuman berbahan herbal, makanan berat, kudapan, aneka sandwich, bubur tradisional, dan kopi. Khusus jamu, seluruhnya diambil langsung dari produsen Jamu Iboe, Surabaya. "Kebetulan pemilik kafe ini temannya cicit pemilik Jamu Iboe," ujar Ayu.



Berdiri pada Maret lalu, kedai jamu ini dirintis oleh Nova Dewi Setiabudi dan Uwi Mathovani. Uwi, yang juga seorang desainer grafis, kemudian mengubah beberapa bagian ruangan di kedai itu. Ruang tamunya didesain bersuasana tempo dulu, lengkap dengan sepeda onthel, iklan-iklan jamu retro, display rokok kretek, serta klinthingan burung yang berbunyi di kala angin menerpa.


Siang itu, saya mengawali pengalaman menikmati jamu ala kafe dengan memesan minuman herbal Coco Mango (Rp 18 ribu) dan Nasi Goreng Kebun Raya (Rp 25 ribu). Coco Mango adalah campuran temulawak, mangga, dan nata de coco. Warnanya kuning khas mangga dengan hiasan buah ceri di atasnya. Meski judulnya minuman herbal, justru rasa mangga yang dominan, sehingga mirip punch mangga. Adapun rasa nasi gorengnya tidak istimewa. Terinya digoreng terlalu renyah, sehingga tidak membaur dengan bumbu nasi yang dikuasai rempah-rempah.


Setelah mencicipi makanan pembuka yang cukup berat itu, saatnya mencoba sajian utama: jamu. Sebagai pemula, saya mencoba jamu berseri 71 seharga Rp 9.000, yang diklaim bisa melancarkan peredaran darah dan menyegarkan badan. Seperti jamu biasa, rasanya pahit, meski dalam penyajiannya sudah dibubuhi jeruk nipis. Untungnya ada legen (minuman tradisional dari pohon lontar atau siwalan) rasa jahe dalam gelas kecil, yang cukup ampuh menetralisir kekagetan pada lidah.


Minum jamu cocok ditemani camilan. Atas rekomendasi pelayan kafe, saya memesan singkong goreng dua buah (Rp 12 ribu). Tampilannya minimalis dan disajikan di atas piring aluminium beralaskan daun pisang. Tapi rasanya maksimalis, garing di luar serta lembut dan gurih di dalam.


Terakhir, pelayan kafe ini menyarankan agar saya menjajal Green Tamarin (Rp 18 ribu). Minuman berwarna hijau ini adalah jus sawi yang dicampur dengan kunyit asam. Sawi yang biasa disayur itu menjadi seperti milkshake dengan busa pada sepertiga atas gelas. Ajaibnya, aroma sawi tak kentara dan rasanya pun segar: antara kunyit asam dan sensasi sawi.


Dari Petogogan, malamnya saya melanjutkan petualangan mencari kedai jamu ala kafe lainnya. Saya menemukannya di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Tepatnya di kedai jamu Bukti Mentjos. Kedai yang dibuka pada 1950-an itu tidak mirip kafe, melainkan lebih tepat disebut mini bar. Bukti Mentjos menyajikan jamu langsung di depan pengunjung yang duduk mengelilingi meja bar berbentuk huruf L. Yang tidak kebagian tempat duduk di mini bar bisa menuju tempat duduk tambahan beserta meja di sebelah meja panjang utama.


Kedai yang kini dikelola oleh Horatius Romuli, generasi ketiga Jamu Bukti Mentjos, itu tak hanya menyajikan jamu, tapi juga bubur, minuman herbal, dan aneka kudapan. Para pelayan akan menanyakan jamu yang akan kita pesan dengan tiga tingkat kepahitan. "Mau yang pahit, sedang, atau manis," kata sang pelayan.


Meski sudah memilih kategori sedang untuk jamu sehat wanita (Rp 16 ribu), saya butuh sekitar 30 menit untuk menandaskannya. Terlalu pahit untuk ditelan langsung.


Bagi penggemar jamu, rasa pahit tentu tak masalah. Namun bagi saya, yang termasuk hampir tak pernah minum jamu, itu butuh perjuangan. Karena itu, bagi pemula, saya menyarankan sebaiknya memulai menikmati jamu di kedai itu dari level terendah: manis.


Toh, rasa pahit jamu tak menjadi momok. Jumlah pengunjung tetap padat hingga menjelang kedai itu tutup pada pukul 21.30 WIB. Tak hanya orang tua, banyak pula keluarga muda dengan anak mereka. Tampaknya para pengunjung itu mendambakan terwujudnya slogan Bukti Mentjos: "Rakyat Sehat, Negara Kuat"DIANING SARI

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Kafe dan Bar

0 komentar:

Posting Komentar


-Kami tidak akan segan-segan menghapus komentar anda jika tidak berhubungan dengan artikel.
-Dilarang keras berkomentar dengan live lnik (akan dihapus).
-Komentar yang membangun sangat kami harapkan Untuk memajukan blog ini.